- i love you not because who you are, but because of who i am with you.
- to the world you may be one person, but to one person you may be the world
Baginda
Mulia Rasulullah Saw. Pernah bersabda, “Barangsiapa menikah, maka dia
telah memperoleh setengah bagian dari agamanya.. Maka bertakwalah kalian untuk memperoleh
sebagian lainnya..” (HR Al-Hakim)
Begitu
agungnya kata-kata suci itu, begitu dalamnya makna sebuah pernikahan di hadapan
Nabi mulia kita, yang di dalamnya menjaminkan seseorang dari kalangan manapun
juga, dari kondisi apa pun juga, dia akan memperoleh sebuah jalan ketakwaan di
dalam keberagamaannya, dengan cara melewati terlebih dahulu sebuah pernikahan!
Tentunya
jika Beliau Saw. mengungkapkan sebuah kalimat seperti itu, berarti makna sebuah
pernikahan tidaklah sederhana, karena setengah bagian keberagamaan seseorang
terjaminkan oleh hal tersebut. Jenjang pernikahan seseorang bukanlah menjadi
perkara yang ringan sehingga setiap orang bisa berbondong-bondong begitu saja
menempuh jalan tersebut tanpa berpikir panjang, tanpa perencanaan yang matang apalagi
seringkali seseorang begitu mudah menikah dengan siapa saja yang dia anggap
cocok, dan siap menikah, tanpa membangun perenungan terlebih dahulu.
Mengapa
Nabi Suci mengungkapkan kalimat tersebut? Lantas sebesar apakah hikmah sebuah
pernikahan?
Seringkali
kita menemukan seseorang yang katanya siap untuk menikah, lantas cenderung
mencari pasangan dengan kriteria-kriteria yang dibangun berdasarkan apa yang
dia sukai dan yang tampak secara lahiriyah itu baik. Berdasarkan selera yang
dia pahami saat itu bahkan dengan mengatasnamakan sebuah cinta, yang dasar
cintanya pun tidak begitu jelas, orang dengan mudah dan dengan cepat pula
merencanakan sebuah pilihan… menikah!
Seringkali
pula, kita temukan di tengah masyarakat hari ini, seseorang yang begitu terbuai
dengan pesona “cinta”, sehingga dia pun rela menempuh jalan pernikahan secara
cepat. Segala ketakutannya akan dipandang orang yang terlambat menikah, yang
tidak laku dan lain sebagainya, membuat makna pernikahan yang ada dalam
benaknya adalah, hidup bersama, saling membahagiakan, saling menolong, tanpa
ada keributan, cukup.
Semua
itu senantiasa dikonotasikan sebagai kebahagiaan yang dia rasakan di dunia
tempat berpijak hari itu. Ketika kebutuhan hidup terpenuhi, ketika harta
mencukupi, ketika anak-anak bisa sekolah sampai jenjang tinggi, ketika
pekerjaan yang dia mati-matian menempuhnya dapat menjamin kehidupannya hingga
akhir pensiun kelak, membuat ukuran kebahagiaan hidup di dunia adalah menikah,
dikaruniai anak, pekerjaan mapan, hidup tanpa masalah, rukun sampai akhir
hayat…
Demikianlah
masyarakat dunia luas memandang konsep
sebuah pernikahan. Masyarakat barat pun meyakini sedemikian, sehingga bagi
mereka yang tanpa agama pun, mereka bisa hidup bahagia di dunia. Tentu saja,
akhirat di mata mereka adalah khayalan para penganut agama…
Di
sisi lain, bagi sebagian masyarakat yang telah mengenal lebih dalam agama dan
menjalankan syariat dengan taat, mengukur pernikahan yang agung dengan
kerinduan mereka untuk bisa membangun pernikahan yang sakinah mawaddah dan
rahmah. Sebuah tujuan luhur dambaan setiap Muslim.
Mereka
cukup puas dengan kehidupan seperti itu. Tidak ada dalam benak mereka sebuah
pertanyaan mendasar, misalanya; Mengapa harus mencintai Allah, Mengapa Allah menurunkan
agama sedemikian rupa tapi faktanya umat Islam masih saja belum berhasil
mengamalkan dengan benar keberagamaan mereka? Ketika antar umat Islam sendiri
terjadi saling menyalahkan, saling menyerang, saling menghancurkan, saling
bangga dengan kelompoknya sendiri, tapi cenderung memandang rendah kelompok
lain,
Agama
dipandang hanyalah sebagai perwujudan amalan lahiriyah yang telah Rasulullah
Saw. ajarkan dan tidak perlu lagi membangun sebuah kesadaran baru bahwa apa
yang lahiriyah telah jalankan seharusnya berimplikasi pada kesucian
batiniyahnya, semisal sifat jujur, menghargai pendapat orang lain, mengakui
perbedaan tapi persaudaraan tetap di jaga, tidak bergunjing dan membincangkan
aib orang, serta semua amalan batin lainnya yang bisa jadi di mata mereka tidak
ada hubungannya dengan ketaatan menjalankan ibadah lahiriyahnya…
Pertanyaan
kita berikutnya pun muncul setelah melihat ungkapan agung Rasulullah tadi.
Pernikahan seperti apa yang akan menjadi landasan kuat hingga setengah bagian
agama tegak karenanya? Apakah keberagamaan seseorang cukup diukur oleh sekedar
ketaatan yang tampak lahiriyah belaka? Lantas bagaimana perasaan kita ketika mengetahui
berita pembunuhan tiga orang anak kecil, oleh ibunya sendiri, di bulan juni
2006 lalu? Tentu ini tamparan keras bagi kita, umat islam seluruhnya. Apalagi
setelah mengetahui keluarga ini berasal dari pasangan suami-istri yang notabene
merupakan aktivis sebuah masjid besar di kota Bandung. Potret keluarga taat
beragama dalam pandangan masyarakat luas.
Lantas, keberagamaan seperti apa yang kemudian
dapat dijadikan sebagai titik kerinduan, dan pengharapan kita? Seandainya
syariat agama itu tegak, awal mulanya adalah ketika terbangunnya sebuah model
pernikahan ideal, yang kelak buahnya adalah sebuah ketakwaan sejati di hadapan
Allah… Sulitkah menegakkan model ideal sebuah penikahan agung macam ini?
Untuk itulah, semoga kiranya uraian dan ajakan renungan
kali ini bisa memberi sudut pandang yang baru tentang sebuah konsep pernikahan
dan penemuan pasangan sejati yang menjadi kerinduan setiap manusia di manapun
berada..
Dan bagi saya, menuliskan judul “Mencari Tulang
Rusuk Kita” sebagai simbol pencarian akan pasangan sejati yang telah Allah
tetapkan di alam azali. Dengan pengertian bahwa ajakan renungan ini bukan hanya
sekedar diperuntukkan bagi kaum laki-laki yang tengah mencari “tulang rusuk”
nya yang hilang, tapi juga diperuntukan secara khusus bagi kaum perempuan yang
menjadi “sang tulang rusuk” yang fitrahnya memang merindukan kehadiran pasangan
sebagai tempat kembalinya ia, tempat bersandar dan sekaligus tempat dia
menyerahkan seluruh urusan dunia dan akhiratnya kepada sang pemilik sejati
“tulang rusuk” dirinya….
Kiranya
Allah Yang Maha Penganugerah Cinta, senantiasa melimpahkan kita semua sebuah
rasa cinta sejati… rasa cinta yang menjadi energi terbesar hidup yang akan
membuat hidup lebih agung dan lebih bermakna, hidup lebih berharga dan makna
indah rumah tangga akan lebih bisa dirasakan oleh setiap insan di manapun
berada…
Kiranya
Dia Ta’ala memenuhi dambaan setiap umat Muhammad Saw. akan tegaknya rumah
tangga yang sakinah, tenang jiwa walaupun fisik diuji dengan
berbagai dinamika kehidupan, dihadapkan pada ujian kemiskinan, ketakutan, dan
pesoalan kesehariannya yang semakin lama semakin kompleks seiring dengan kompleksitas
kehidupan pula.
Allah
juga anugerahkan sebuah kehidupan mawaddah, tatkala setiap diri
beserta pasangannya terikat kuat untuk saling meringankan satu sama lain,
saling menyemangati, saling mengangkat, saling menutupi kekurangan, saling
menggembirakan, saling mengokohkan.
Dan
yang lebih luhur, kiranya Allah sebagai Sumber cinta, menganugerahkan kita
semua sebuah kehidupan rumah tangga yang rahmah, dalam pengertian
Allah anugerahkan kemampuan memberikan pertolongan kepada setiap diri dan orang
lain, baik pertolongan secara jasad hingga diberikan kemampuan menolong hingga
pada tataran jiwa. Mengenalkan jalan Ilahi, jalan keberserahdirian, mengalir
dalam kehendak Allah Yang Mulia Yang Maha Segala…
0 comments: